Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi
Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi

Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi

Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
[Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi]
[Kekerasan Sekolah: Siswa Lumpuh Setelah Dipukul Kursi Besi]

Kekerasan Sekolah Kembali Mencuat Setelah Seorang Siswa SMP Negeri Di Tangerang Selatan Mengalami Cedera Serius Yang Tragis. Dugaan tindakan perundungan ini menimpa seorang pelajar berinisial MH (13). Kekerasan tersebut di duga dilakukan oleh rekan sekelasnya sendiri di lingkungan sekolah. Kasus ini menjadi alarm keras mengenai keamanan dan pengawasan dalam institusi pendidikan.

Tragedi yang di alami MH kini menempatkannya dalam kondisi kritis. Korban terbaring lemah di ruang perawatan RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan. Kondisi kesehatan MH sangat mengkhawatirkan. MH mengalami gangguan penglihatan hingga mengalami kelumpuhan di sebagian tubuhnya. Awalnya, gejala seperti rabun dan badan lemas sering di abaikan.

Pihak keluarga mengungkapkan bahwa perundungan ini bukan insiden tunggal. Kekerasan sudah terjadi sejak awal tahun ajaran baru. Tepatnya sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di mulai. Kekerasan Sekolah ini bermula dari kekerasan verbal. Namun, ia kemudian berkembang menjadi serangan fisik berulang yang luput dari perhatian.

Insiden ini menyoroti kurangnya sistem perlindungan internal sekolah. Perundungan yang berlarut-larut seharusnya sudah terdeteksi. Pihak sekolah mestinya memberikan pengawasan yang jauh lebih ketat. Akan tetapi, MH terus mengalami perlakuan kasar. Pelajar ini menunjukkan perubahan perilaku signifikan. Perubahan ini gagal di respons cepat oleh lingkungan sekolah. Kasus ini menunjukkan bahwa perundungan terjadi secara sistematis. Ia tidak hanya merupakan tindakan acak sesaat.

Kronologi Kekerasan Berulang Sejak MPLS

Kronologi Kekerasan Berulang Sejak MPLS menunjukkan adanya pola pengabaian dalam lingkungan belajar. Ibu korban, Y (38), membeberkan bahwa kekerasan sudah terjadi sejak hari pertama masuk sekolah. Awalnya, MH sudah menerima kekerasan. Korban di taboki sebanyak tiga kali pada masa orientasi tersebut. Peristiwa ini menjadi indikasi awal kegagalan pengawasan saat program pengenalan siswa baru. Perlakuan kasar tersebut seharusnya sudah menjadi perhatian serius sejak dini.

Setelah MPLS berakhir, perlakuan kasar itu tidak berhenti. Y menyebutkan bahwa MH kerap menjadi sasaran kekerasan fisik di dalam kelas. Anaknya sering di tusuk menggunakan sedotan di bagian tangan. Ketika proses belajar, lengannya pernah di tendang. Punggungnya pun pernah dipukul oleh pelaku. Berbagai bentuk pelecehan ini terjadi secara konsisten tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Tindakan berulang ini jelas menunjukkan adanya pola perundungan yang terencana.

Puncak dari kekerasan ini terjadi pada Senin, 20 Oktober 2025. MH di duga di pukul oleh teman sebangkunya. Pemukulan dilakukan menggunakan kursi besi. Akibat benturan tersebut, muncul benjolan signifikan di kepala korban. Tragisnya, korban tidak langsung menceritakan kejadian ini. Dirinya khawatir kondisi ibunya yang baru saja keluar dari ruang ICU. Rasa takut korban terhadap dampak emosional pada ibunya membuatnya memilih menahan rasa sakit. Pemukulan dengan kursi besi ini jelas merupakan tindakan kekerasan yang tergolong brutal.

Kondisi MH baru di ceritakan sehari kemudian. Ibunya mendesak karena curiga dengan perubahan sikap anaknya. MH akhirnya mengakui bahwa dirinya di pukul dengan kursi besi. Ini menjelaskan mengapa kondisi fisiknya memburuk drastis setelah insiden tersebut. Gejala fisik seperti rabun dan lumpuh segera mengikuti penceritaan traumatis itu. Pukulan keras di kepala terbukti menjadi pemicu kerusakan neurologis yang fatal.

Kekerasan Sekolah Dan Implikasi Medis Fatal

Kekerasan Sekolah Dan Implikasi Medis Fatal harus di analisis secara serius. Setelah pemukulan tersebut, kondisi kesehatan MH terus menurun tajam. Kakak sepupunya, RF (29), mengonfirmasi penglihatan MH mulai kabur pada 21 Oktober. Tubuhnya juga melemah, menunjukkan gejala seperti lumpuh. Penyusutan fungsi tubuh yang cepat ini mengindikasikan adanya kerusakan internal yang progresif. Gejala neurologis yang muncul secara mendadak harus segera di respons sebagai keadaan darurat medis.

Menurut ilmu medis, cedera kepala akibat benturan keras dapat memicu masalah neurologis. Benturan ini berpotensi menyebabkan hematoma atau pembengkakan otak. Hal ini menekan saraf optik dan jalur motorik. Penekanan ini menjelaskan gejala rabun dan kelumpuhan yang di alami korban. Dampak benturan pada kepala seringkali bersifat laten, tidak langsung terasa. Oleh karena itu, pemeriksaan neurologis menyeluruh sangat di perlukan.

Keluarga sempat membawa MH ke Rumah Sakit Columbia BSD. Namun, karena keterbatasan fasilitas penanganan neurologis, korban di rujuk. Pasien kemudian di pindahkan ke RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan. Saat ini, MH masih di rawat intensif. Korban berada dalam kondisi lemah dan belum sepenuhnya sadar. Keterbatasan fasilitas di rumah sakit awal memperlihatkan tantangan dalam penanganan kasus cedera otak. Pemindahan ke RSUP Fatmawati di harapkan dapat memberikan perawatan yang lebih spesialis.

Luka fisik akibat Kekerasan Sekolah seringkali berakibat jangka panjang. Dampaknya dapat memengaruhi fungsi kognitif dan fisik korban. Oleh karena itu, penanganan medis yang cepat dan komprehensif adalah langkah vital. Ini perlu dilakukan untuk meminimalkan kerusakan permanen pada sistem saraf korban. Masa depan dan kualitas hidup MH sangat bergantung pada intervensi medis saat ini. Perawatan pasca-operasi juga akan membutuhkan rehabilitasi yang panjang dan intensif.

Gagalnya Mediasi Dan Tanggung Jawab Institusi

Gagalnya Mediasi Dan Tanggung Jawab Institusi menjadi sorotan tajam dalam kasus ini. Pihak sekolah sempat berupaya memediasi insiden ini. Mediasi antara keluarga korban dan pelaku dilakukan pada 22 Oktober 2025. Kepala Sekolah SMP Negeri tersebut, Frida Tesalonik, mengonfirmasi mediasi telah dilakukan. Mediasi seharusnya menjadi jalan untuk penyelesaian damai yang adil, bukan sekadar formalitas. Namun, mediasi ini gagal karena pihak pelaku tidak menunjukkan niat baik jangka panjang.

Mediasi itu menghasilkan surat pernyataan formal. Surat pernyataan berisi kesanggupan orang tua pelaku. Mereka sanggup menanggung biaya pengobatan MH secara penuh. Terutama untuk perawatan cedera kepala dan matanya. Komitmen tertulis ini seharusnya menjadi dasar hukum yang kuat bagi keluarga korban. Pelanggaran atas komitmen ini menambah beban penderitaan finansial keluarga.

Namun, janji tersebut ternyata tidak di penuhi sepenuhnya. Keluarga korban menyebutkan bahwa pelaku lepas tangan. Bahkan, mereka menyarankan keluarga korban mencari pinjaman uang sendiri. Kegagalan mediasi ini menunjukkan kurangnya pengawasan. Kegagalan juga menunjukkan ketidakseriusan pihak sekolah. Sikap lepas tangan ini melanggar etika dan komitmen yang telah di sepakati bersama. Insiden ini menyoroti bahwa surat pernyataan tanpa pengawalan bisa menjadi tidak berarti.

Prosedur mediasi sekolah seharusnya memastikan pemulihan korban menjadi prioritas. Sekolah memiliki kewajiban untuk melindungi siswa. Kegagalan ini memaksa keluarga MH mencari keadilan ke luar. Mereka melapor ke LBH dan di arahkan ke Dinas Pendidikan. Ini menandakan bahwa tanggung jawab sekolah belum terpenuhi secara memadai. Pelepasan tanggung jawab ini menunjukkan sekolah kurang siap menangani kasus perundungan berat. LBH kini bertindak untuk menjamin hak-hak korban tidak lagi terabaikan.

Tuntutan Perlindungan Dan Tindakan Anti Bullying

Tuntutan Perlindungan Dan Tindakan Anti Bullying harus menjadi agenda utama pemerintah. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan memegang peranan krusial. Mereka wajib mengawasi dan menindak tegas kasus perundungan ini. Dindik harus memastikan sekolah tidak hanya melakukan mediasi. Langkah hukum dan sanksi administratif yang jelas di perlukan untuk memberikan efek jera. Oleh karena itu, Dindik perlu segera melakukan audit mendalam terhadap SOP sekolah terkait.

Pemerintah daerah harus segera menyusun regulasi pencegahan yang kuat. Regulasi ini harus di terapkan dengan ketat. Selain itu, di perlukan adanya program edukasi anti-kekerasan yang efektif. Program ini harus melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Model intervensi yang melibatkan psikolog sekolah juga harus di tingkatkan fungsinya. Penyusunan regulasi ini wajib dilakukan dengan melibatkan pakar perlindungan anak.

Langkah-langkah ini penting untuk memutus rantai kekerasan. Rantai kekerasan yang sering berulang di lingkungan pendidikan harus di putus. Kini, harapan keluarga MH hanya tertuju pada kesembuhan total korban. Namun, mereka juga menuntut agar kasus ini di proses hukum. Dukungan psikososial jangka panjang harus di berikan kepada korban dan keluarganya. Proses hukum adalah kunci untuk memastikan akuntabilitas pelaku dan institusi yang lalai.

Tragedi ini merupakan cerminan bahwa kekerasan di lingkungan belajar masih nyata. Kisah tragis MH ini harus mendorong kita semua bertindak. Tindakan tegas harus di ambil agar tidak ada lagi insiden. Keselamatan dan rasa aman siswa adalah prasyarat mutlak bagi keberhasilan pendidikan. Menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas ancaman adalah tugas kolektif semua pihak, demi meniadakan Kekerasan Sekolah.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait