RAGAM
Direktur Keuangan Tipu Atasan, Rugikan Rp6,3 Miliar
Direktur Keuangan Tipu Atasan, Rugikan Rp6,3 Miliar

Direktur Keuangan Asal Surabaya Didakwa Menipu Dan Menggelapkan Dana Milik Bosnya Sendiri Hingga Mencapai Nilai Fantastis Rp6,3 Miliar. Kasus ini menjadi perbincangan luas karena modus yang di gunakan tidak biasa, yakni berpura-pura dapat berkomunikasi dengan sosok spiritual melalui pesan digital. Dalam sidang yang di gelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Jaksa Penuntut Umum memaparkan bahwa tindakan tersebut di lakukan berulang selama enam tahun, mulai 2018 hingga 2024.
Kejadian ini bermula dari kepercayaan tinggi yang di berikan seorang pimpinan perusahaan terhadap bawahannya. Pelaku, seorang perempuan bernama Arfita, menjabat sebagai direktur sekaligus bendahara di CV Sentosa Abadi Steel, tempat korban bernama Alfian Lexi menjadi Direktur Utama. Melalui jabatan strategisnya, Arfita berhasil membangun citra profesional yang sangat di percaya hingga korban nyaris tidak pernah memverifikasi setiap transaksi yang di lakukan.
Untuk meyakinkan atasannya, Arfita menuturkan bahwa ia memiliki kemampuan berinteraksi dengan entitas spiritual yang di sebutnya sebagai empat dewa pelindung rezeki. Ia mengklaim bahwa “pesan” dari para dewa tersebut mengharuskan perusahaan memberikan sumbangan rutin agar keberuntungan dan kesehatan manajemen tetap terjaga. Korban yang meyakini hal itu pun mentransfer dana secara berkala ke rekening yang di kendalikan Arfita.
Kasus ini menunjukkan bahwa Direktur Keuangan memiliki posisi yang sangat strategis sekaligus rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Relasi profesional dapat berubah menjadi ruang manipulasi ketika kepercayaan tidak di imbangi dengan sistem pengawasan. Pelaku mampu menciptakan suasana spiritual yang memengaruhi keputusan rasional atasan, membuktikan bahwa kejahatan modern bisa bersembunyi di balik narasi keyakinan dan loyalitas semu.
Kronologi Penipuan Dan Jalannya Kasus
Kronologi Penipuan Dan Jalannya Kasus memperlihatkan bagaimana penipuan ini berkembang secara sistematis tanpa terdeteksi. Menurut berkas dakwaan, pelaku menjalankan aksinya dengan menciptakan identitas empat dewa rekaan yang disebut Dewa Ko Iwan, Dewa Ko Jo, Dewa Ko Bram, dan Dewa Ko Billy. Keempat nama ini di gunakan untuk mengirimkan pesan kepada korban seolah berasal dari kekuatan supranatural yang memberi instruksi amal.
Pesan tersebut di kirim melalui aplikasi perpesanan dengan nada yang tampak bijak dan spiritual. Isi pesannya selalu menuntut agar korban menyumbangkan sebagian dana perusahaan dengan alasan “misi kebaikan” atau “pembersihan rezeki”. Awalnya nominal sumbangan kecil, sekitar sepuluh persen dari keuntungan bulanan. Namun, sejak 2021, jumlah itu meningkat hingga seperempat dari laba usaha. Pelaku memanfaatkan reputasi perusahaan yang sedang tumbuh untuk mengalihkan dana tanpa kecurigaan.
Penyimpangan ini baru terungkap ketika rekan bisnis korban meminta bukti sumbangan kepada lembaga sosial yang di sebutkan Arfita. Saat diminta menunjukkan bukti transfer resmi, pelaku tidak mampu membuktikan klaimnya. Setelah di lakukan audit internal, terungkap bahwa sebagian besar uang justru di gunakan untuk membeli barang pribadi, membayar cicilan, dan hiburan mewah. Dari total Rp6,3 miliar, hanya sebagian kecil yang benar-benar sampai ke lembaga sosial. Arfita pun di dakwa melanggar Pasal 378 tentang penipuan dan Pasal 372 tentang penggelapan.
Modus Cerdik Sang Direktur Keuangan Dalam Menipu Atasan
Modus Cerdik Sang Direktur Keuangan Dalam Menipu Atasan menjadi contoh nyata bagaimana seseorang dengan posisi keuangan bisa menyalahgunakan kepercayaan. Pelaku tidak sekadar mencuri uang perusahaan, tetapi juga menciptakan sistem kepercayaan yang terstruktur agar tindakannya tampak sah dan bermakna spiritual. Ia memadukan pendekatan religius dengan citra profesional, sehingga korban percaya tanpa banyak bertanya.
Keahlian Arfita dalam memainkan emosi menjadi kunci keberhasilan aksinya. Ia membangun citra diri sebagai sosok yang tulus dan berjiwa sosial. Setiap kali korban ragu, pelaku menegaskan bahwa keberhasilan bisnis mereka adalah “berkat doa para dewa” yang ia hubungi. Pendekatan seperti ini secara psikologis menekan korban agar tidak ingin “melawan kehendak spiritual” yang seolah menjadi pelindung usaha mereka.
Selain itu, posisi pelaku sebagai pengelola keuangan memberi ruang besar untuk mengatur arus dana tanpa kontrol eksternal. Ia menggunakan istilah donasi, CSR, dan sedekah sebagai alasan untuk menutupi transaksi pribadi. Dari luar, laporan keuangan terlihat normal karena dana tersebut tercatat sebagai pengeluaran sosial. Namun setelah di telusuri, di temukan adanya manipulasi dan penyaluran fiktif.
Dari kasus ini, dapat dipetik pelajaran bahwa pengawasan internal di perusahaan harus di jalankan secara objektif. Sistem audit tidak boleh berhenti pada kepercayaan personal. Posisi seperti Direktur Keuangan seharusnya di lengkapi dengan mekanisme verifikasi silang agar tidak ada individu yang memegang kendali absolut atas dana perusahaan.
Makna Dan Pelajaran Dari Kasus Ini
Makna Dan Pelajaran Dari Kasus Ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara empati dan rasionalitas dalam hubungan profesional. Penipuan ini memperlihatkan bahwa loyalitas tanpa batas dapat menjadi pintu masuk manipulasi. Kepercayaan yang tidak di imbangi dengan sistem pengawasan justru berpotensi menciptakan kerugian besar, baik secara finansial maupun emosional.
Bagi dunia bisnis, kasus ini memperlihatkan bahwa integritas adalah fondasi utama yang harus di bangun melalui sistem, bukan hanya karakter individu. Setiap transaksi, sekecil apa pun, perlu diverifikasi dengan mekanisme transparan agar tidak ada celah bagi penyalahgunaan. Perusahaan juga perlu menyadari bahwa jabatan seperti Direktur Keuangan bukan hanya posisi administratif, tetapi juga garda depan dalam menjaga reputasi dan kestabilan keuangan organisasi.
Dari sisi hukum, kasus ini menjadi cermin bagaimana peraturan yang tegas tetap di butuhkan untuk menjaga etika korporasi. Dakwaan terhadap pelaku merupakan bentuk penegasan bahwa hukum tidak hanya mengatur hubungan antarindividu, tetapi juga kepercayaan sebagai nilai sosial yang memiliki konsekuensi hukum.
Secara moral, peristiwa ini mengingatkan bahwa spiritualitas seharusnya membawa kebaikan, bukan di jadikan alat untuk menutupi kejahatan. Ketika keyakinan digunakan sebagai senjata untuk menipu, maka nilai-nilai moral kehilangan maknanya. Oleh karena itu, pendidikan etika bisnis dan literasi spiritual yang rasional perlu di tanamkan sejak dini di dunia profesional.
Perlunya Literasi Keuangan Dan Spiritualitas Rasional
Perlunya Literasi Keuangan Dan Spiritualitas Rasional menjadi kesimpulan strategis yang relevan bagi individu dan perusahaan. Dunia bisnis yang kompleks saat ini menuntut keseimbangan antara kemampuan analisis keuangan dan kesadaran moral. Jika salah satunya di abaikan, risiko penyalahgunaan menjadi semakin besar, sebagaimana tergambar pada kasus yang menimpa korban Arfita.
Setiap perusahaan sebaiknya menanamkan budaya audit terbuka yang di sertai nilai integritas. Transparansi bukan hanya tentang laporan angka, tetapi juga tentang membangun rasa tanggung jawab bersama. Pemerintah dan lembaga pendidikan dapat mengambil peran dalam memperluas literasi keuangan yang berbasis etika agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh narasi yang menggunakan simbol keagamaan untuk menutupi kepentingan pribadi.
Langkah-langkah konkret perlu segera dilakukan. Perusahaan dapat menerapkan sistem digital audit, pembatasan otorisasi transaksi, dan kewajiban pemeriksaan silang oleh pihak independen. Individu juga di harapkan lebih waspada dan tidak memberikan kepercayaan mutlak tanpa data pendukung. Jika prinsip-prinsip ini di jalankan secara konsisten, dunia bisnis akan menjadi lebih sehat dan transparan, serta mampu mencegah munculnya kembali kasus serupa yang melibatkan seorang Direktur Keuangan.